Filsafat adalah seni bertanya yang tak pernah mati


Terima kasih teman-teman yang sudah mau berkunjung di blog saya, Disini saya akan berbagi pengalaman belajar filsafat saya selama 7 pertemuan, tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum yang dibimbing oleh ibu Lailatuz Zuhriyah, M.Fill.I,. “Filsafat adalah seni bertanya yang tak pernah mati” begitulah kira-kira gambaran yang melekat dalam benak saya setelah mengikuti perkuliahan Filsafat Umum selama tujuh pekan ini. Sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), awalnya saya mengira filsafat hanyalah kumpulan teori abstrak yang jauh dari realitas praktis. Namun, ternyata ia justru menjadi cermin yang memantulkan hakikat pengetahuan, nilai, dan tujuan pendidikan itu sendiri. Melalui filsafat, saya belajar bahwa setiap pertanyaan bahkan yang terdengar naïf dapat membuka gerbang pemahaman baru tentang diri, manusia, dan dunia. Perjalanan ini tidak hanya mengajarkan cara berpikir kritis, tetapi juga mengajak saya merenung: Apa makna menjadi pendidik? Bagaimana ilmu pengetahuan dibangun? Dan mengapa etika tak boleh terpisah dari proses belajar-mengajar? Pertemuan demi pertemuan membawa saya pada kesadaran bahwa filsafat bukan sekadar mata kuliah, melainkan alat untuk mengasah kepekaan intelektual dan spiritual. Ia mengingatkan saya bahwa menjadi calon guru bukanlah tentang mentransfer informasi, melainkan membangun manusia yang mampu berpikir mandiri, bertanya, dan menemukan makna dalam setiap ilmu yang dipelajari. Esai refleksi ini adalah catatan perjalanan saya menyelami samudra filsafat mulai dari kebingungan awal, kilasan pemahaman, hingga harapan-harapan yang lahir setelah menyadari betapa relevannya filsafat dalam membentuk paradigma pendidikan yang humanis dan transformatif.

Pentingnya Belajar Filsafat Umum Bagi Mahasiswa FTIK

Filsafat Umum menjadi penting karena ia mengajarkan kita untuk bertanya, bukan hanya menjawab. Bagi mahasiswa FTIK, kemampuan ini sangat krusial karena kelak kita akan berperan sebagai pendidik yang bertugas membentuk generasi berpikir mandiri. Filsafat melatih kita untuk menganalisis asumsi dasar dari setiap pengetahuan, termasuk dalam bidang pendidikan. Misalnya, ketika mempelajari teori pembelajaran, filsafat membantu kita memahami mengapa suatu metode dianggap efektif, bukan hanya bagaimana menerapkannya. Selain itu, filsafat juga memperkaya dimensi etika dan moral, yang menjadi pondasi dalam mengambil keputusan di dunia pendidikan. Tanpa pemahaman filsafat, kita mungkin terjebak pada rutinitas mengajar tanpa refleksi mendalam tentang tujuan hakiki pendidikan.

Materi Singkat Yang Saya Pelajari Tentang Filsafat

Perkuliahan diawali dengan pengertian filsafat sebagai “cinta akan kebijaksanaan” dan perbedaannya dengan ilmu pengetahuan lain. Saya belajar bahwa filsafat tidak mencari jawaban pasti, melainkan terus menguji argumen melalui dialektika. Selanjutnya, dibahas cabang-cabang filsafat:  

- Metafisika (hakikat realitas),  

- Epistemologi (sumber pengetahuan),  

- Aksiologi (nilai-nilai kehidupan).  


Pertemuan berikutnya menyoroti sejarah filsafat, mulai dari Yunani Kuno (Socrates, Plato, Aristoteles) yang paling saya kagumi adalah tentang Aristoteles saya terpukau oleh cara pemikirannya yang sistematis, praktis, dan relevan hingga hari ini. Sebagai murid Plato yang kemudian mengembangkan gagasannya sendiri, Aristoteles tidak hanya membangun fondasi bagi banyak disiplin ilmu, tetapi juga menawarkan perspektif yang membumi tentang manusia, alam, dan moralitas. Berikut hal-hal menarik yang saya temukan dari pemikirannya:  

1. Empat Sebab 

Aristoteles menjelaskan bahwa untuk memahami sesuatu secara utuh, kita harus melihatnya melalui empat sebab:  

1. Sebab Material (bahan pembentuknya),  

2. Sebab Formal (bentuk atau desainnya),  

3. Sebab Efisien (proses pembuatannya),  

4. Sebab Final (tujuan atau telos-nya).  

Misalnya, ketika menganalisis sebuah patung, kita tidak hanya melihat marmer sebagai bahannya (sebab material), tetapi juga tujuan seniman membuatnya (sebab final). Konsep ini membuat saya sadar bahwa segala fenomena di dunia bahkan dalam pendidikan memiliki lapisan makna yang saling terhubung.  

2. Etika Kebajikan 

Aristoteles tidak melihat moralitas sebagai aturan kaku, melainkan sebagai kebiasaan untuk mencapai "keutamaan. Menurutnya, manusia harus menemukan "jalan tengah" (golden mean) antara dua ekstrem. Contohnya, keberanian adalah jalan tengah antara pengecut dan nekat. Pemikiran ini menarik karena mengajarkan bahwa menjadi baik adalah soal latihan dan keseimbangan, bukan sekadar mengikuti dogma. Sebagai calon pendidik, ini menginspirasi saya untuk tidak hanya mengajar nilai-nilai, tetapi juga membiasakan siswa berlatih kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.  

3. Logika sebagai Alat Berpikir

Aristoteles adalah bapak logika formal dengan konsep silogisme (misal: Semua manusia fana. Socrates adalah manusia. Maka, Socrates fana). Meski terkesan sederhana, logika ini menjadi dasar metode ilmiah modern. Hal menariknya, logika Aristoteles tidak hanya untuk akademisi, tetapi juga alat untuk berpikir jernih dalam menghadapi masalah kompleks. Saya pun mulai mencoba menerapkan kerangka logis ini ketika menganalisis isu pendidikan, seperti mengapa suatu kurikulum gagal atau berhasil.  

4. Pandangan tentang Pendidikan

Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah mencapai "eudaimonia" (kehidupan yang bermakna dan sejahtera). Ia menekankan bahwa pendidikan harus mengembangkan potensi rasional dan moral manusia. Yang membuat saya terkesan adalah pandangannya bahwa belajar harus melalui pengalaman dan kebiasaan, bukan hanya teori. Ini selaras dengan prinsip pembelajaran kontekstual yang banyak digaungkan di FTIK.  

5. Filsafat Alam yang Empiris

Berbeda dengan Plato yang fokus pada dunia ide, Aristoteles justru meneliti alam secara empiris. Ia mengobservasi tumbuhan, hewan, dan fenomena fisik untuk memahami prinsip-prinsip alam. Pendekatan ini menunjukkan bahwa filsafat dan sains tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Hal ini membuka mata saya bahwa sebagai calon guru, penting untuk menggabungkan teori dengan observasi nyata di kelas.  

6. Kritik terhadap Gagasan Plato 

Aristoteles berani mengkritik gurunya sendiri, Plato, terutama tentang teori "dunia ide". Bagi Aristoteles, realitas bukanlah bayangan ide abstrak, tetapi terkandung dalam benda-benda konkret. Contohnya, "kebaikan" tidak ada di dunia lain, tetapi tercermin dalam tindakan manusia di dunia nyata. Sikap kritisnya ini mengajarkan saya untuk tidak takut mempertanyakan bahkan pemikir besar sekalipun sebuah prinsip penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

7. Relevansi dalam Pendidikan Modern 

Yang paling mengejutkan, banyak prinsip Aristoteles masih hidup dalam praktik pendidikan hari ini. Misalnya, kurikulum berbasis kompetensi yang bertujuan mengembangkan potensi siswa (telos), atau penilaian karakter yang selaras dengan konsep etika kebajikan Saya menyadari bahwa filsafat Aristoteles bukanlah artefak sejarah, melainkan panduan hidup yang terus berguna.  

Hal Menarik Yang Didapat Ketika Belajar Filsafat

Saya terkesan dengan cara filsafat membuka wawasan tentang keragaman perspektif. Misalnya, ketika membandingkan pemikiran Aristoteles yang logis dengan Taoisme yang mengedepankan “jalan alam”, saya sadar bahwa kebenaran bisa multidimensi. Hal lain yang menarik adalah diskusi tentang filsafat ilmu. Ternyata, metode ilmiah yang selama ini dianggap objektif pun memiliki batasan, karena ia dibangun dari paradigma tertentu. Ini mengubah cara saya memandang ilmu pengetahuan tidak sebagai sesuatu yang mutlak, tetapi sebagai hasil konstruksi manusia yang terus berkembang. 

Harapan Setelah Belajar Filsafat

Saya berharap ilmu filsafat yang telah dipelajari tidak berhenti di ruang kuliah, tetapi menjadi alat untuk terus merefleksikan praktik pendidikan kelak. Saya ingin menerapkan pola pikir kritis dalam merancang kurikulum yang tidak hanya mengejar nilai akademik, tetapi juga membentuk karakter siswa. Selain itu, saya berkomitmen untuk mendorong siswa agar berani bertanya dan berpikir mandiri, sebagaimana Socrates mengajar dengan metode dialektika. Harapan terbesar adalah menjadi pendidik yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga mengajak murid menggali makna hidup melalui pertanyaan-pertanyaan filosofis.

Karolina Alqiya 

Komentar

Postingan populer dari blog ini